Identifikasi Pengaruh Berbagai Kitab Klasik Dalam Serat Centhini

Seran Centini 150Serat Centhini ditulis pada abad XIX oleh tiga orang abdi dalem Kasunanan Surakarta, yaitu: Kyai Yasadipura I, Kyai Ranggasutrasno dan Raden Ngabehi Sastradipura (Kyai Haji Ahmad Ilhar). Penulisan itu atas perintah putra mahkota, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangku Nagara III yang kemudian menjadi raja bergelar Sunan Paku Buwana V (1820–1823).

Serat Centhini menceritakan perjalanan hidup Syaikh Among Raga, salah seorang keturunan Sunan Giri yang melarikan diri setelah Keraton Giri diserang dan diduduki oleh tentara Sultan Agung yang dibantu Pangeran Pekik dari Surabaya. Syaikh Among Raga bersembunyi dan tinggal di satu pesantren ke pesantren lain sebagai santri kelana. Di situlah Syaikh Among Raga banyak mendapatkan pengajaran agama Islam, khususnya tentang kitab-kitab klasik (kitab kuning). Serat Centhini menyebutkan tidak kurang dari 20 nama kitab klasik, yang hingga kini mayoritasnya masih dikenal dan dipakai sebagai pegangan di pesantren.[1]

Baca lebih lanjut

Isyarat Alam dalam Serat Centhini

Serat CenthiniCenthini adalah nama kumpulan serat-serat atau yang ditulis oleh sebuah tim, atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara III. Penulisan kitab Centhini dimulai pada hari Sabtu Pahing 26 Sura 1742 Tahun Jawa atau 1814 Tahun Masehi. Apa saja isi serat tersebut?

Tim yang ditugaskan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara III, diantaranya Raden Ngabehi Yasadipura II (Raden Tumenggung Sastranagara, red), abdidalem bupati pujangga kadipaten, Raden Ngabehi Sastradipura, abdidalem Kliwon carik kadipaten, dan Pangeran Jungut Mandurareja, pradikan krajan Wangga, Klaten Surakarta.

Baca lebih lanjut

Menu Tongseng Tupai dari Serat Centhini

Menu Tongseng Tupai dari Serat Centhini 1TEMPO Interaktif, Jakarta: Seporsi tongseng di atas meja itu terlihat aneh. Di antara potongan-potongan daging dalam genangan kuah kuning kecokelatan itu menyembul selarik ruas-ruas tulang berbalut daging sepanjang sejengkal dengan satu ujungnya lancip. Ya, benda aneh itu memang sepotong ekor tupai. Nama masakannya juga cukup aneh: Tongseng Bajing Mlumpat alias Tongseng Tupai Melompat. Jangan merasa bergidik dulu. Meski aneh, menu masakan ini bersumber dari Serat Centhini, sebuah naskah kuno yang sangat masyhur.

Baca lebih lanjut

Kuliner Tempo Dulu Versi Serat Centhini

Berbagai-macam-kuliner-masyarakat-Jawa-tempo-duluDi tengah hiruk pikuk kemunculan berbagai jenis masakan atau makanan modern, kuliner “tempo doeloe” yang dikenal dengan sebutan jajanan pasar ternyata tetap saja eksis. Terutama di kalangan masyarakat Jawa, jajanan pasar masih dilestarikan, diuri-uri. Lihat saja upacara panen raya, atau pesta pernikahan, pindah rumah dll, jajanan pasar tidak ketinggalan dijadikan sebagai bagian dari uba rampe ritual.

Salah satu informasi mengenai kuliner Jawa tempo dulu tercatat pada Serat Centhini periode 1814-1823. Serat Centhini disusun oleh tim penulis yang dipimpin putra mahkota yang belakangan menjadi raja dan bergelar Paku Buwana V. Anggota tim terdiri dari Raden Ngabei Ronggowarsito, Raden Ngabei Yasadipura II dan Raden Ngabei Sastrodipuro.

Baca lebih lanjut

Sisi Lain Serat Centhini: Sebuah Tafsir Visual

Sisi Lain Serat Centhini - Sebuah Tafsir VisualGaleri Salihara akan mengadakan Pameran Fotografi Fendi Siregar pada tanggal 19-30 Nopember 2009. Pameran ini menampilkan sekitar 40 dari 11 ribuan foto karya Fendi Siregar, yang dikerjakannya selama tiga tahun. Dalam bentang waktu yang cukup panjang itu ia berupaya memberi tafsir atas Serat Centhini, naskah klasik yang hidup di kalangan masyarakat Jawa.

Baca lebih lanjut

Ensiklopedi Serat Centhini

Ensiklopedi Serat CenthiniSerat Centhini merupakan sebuah ensiklopedi yang memuat berbagai informasi penting mengenai politik, ekonomi, sastra, budaya, religi yang telah berkembang di Jawa pada era Sebelum Masehi hingga pada ke 18 Masehi. Para krtiikus memuji kitab ini sebagai karya sastra istana Jawa yang megah, mewah, indah, dan bermutu tinggi.

Baca lebih lanjut

Centhini: Tembang Perjalanan Mencari Diri Dan Cinta Sejati

Centhini: Empat Puluh Malam dan Satunya HujanCenthini begitu melupakan dirinya sendiri dan begitu mengabdi kepada para junjungannya sehingga akhirnya dia memudar, padu lebur dan larut, lenyap dari Suluk, pulang ke zatnya yang sejati, ilahi.

Adalah seorang perempuan bernama Elizabeth D. Inandiak, berhasil menguak satu lembar sastra Jawa yang tersembunyi dan hampir terlupakan ke dalam kancah dunia sastra Indonesia yang sedang sumringah dengan terbitnya berbagai jenis buku dan tulisan.

Baca lebih lanjut

Serat Centhini, Karya Sastra Besar di Dunia

centhini elizabethSerat Centhini yang mulai ditulis pada tahun 1814 – 1823 oleh Putera Mahkota Kerajaan Surakarta, Adipati Anom Amangkunagara III (Sunan Paku Buwana V) merupakan sebuah karya sastra besar di dunia. Setelah menjadi Raja Surakarta, Sunan Paku Buwana V mengutus tiga pujangga keraton yaitu Ranggasutrasna, Yasadipura II (Ranggawarsita I), dan Sastradipura untuk meneruskan membuat cerita tentang tanah Jawa melalui tembang-tembang Jawa.

Serat Centhini adalah salah satu karya sastra terbesar di dunia yang keberadaannya mulai terancam sirna. Untuk itulah saya tertarik untuk menyadurnya ke dalam bahasa Perancis yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,” kata Elizabeth D. Inandiak di Yogyakarta (22/07).

Baca lebih lanjut

Serat “Centhini” Porno?

berita-serat-centhini-tambangraras-amongragaRUU APP sekonyong- konyong muncul lagi dengan nama baru, RUU Pornografi atau RUU Porno. Disebut ”sekonyong-konyong” karena anggota parlemen RI terhormat telah meloloskan draf terbaru tanpa pemberitaan luas kepada masyarakat.

Perubahan nyata dari RUU Porno ini adalah penciutan menjadi 52 pasal, dari sebelumnya 93 pasal. Napasnya masih sama, yakni pengaturan moral seseorang. Pendefinisian pornografi pun masih asal-asalan dan bisa-bisa serat Centhini , sastra kuno Jawa, kena getahnya.

Baca lebih lanjut

Sastra Jawa dan Politik Kebudayaan

Sastra Jawa dan Politik KebudayaanSastra Jawa sebagai khasanah pemikiran yang berkembang, rupanya memiliki akar kekuatan dan khasanah yang luas atas sejarah perkembangan Jawa. Keberadaan serat-serat Jawa kuno merupakan representasi dari Jawa pada zaman itu. Sekaligus sebagai alat legitimasi untuk pengukuhan identitas Jawa. Betapa tidak, hampir seluruh kejadian di Jawa pada saat itu senantiasa diceritakan lewat karya sastra. Manifestasi cerita-cerita itu berupa tembang, mantra, suluk dan lain sebagainya. Seperti kebanyakan munculnya karya sastra yang lain, sastra Jawa timbul berawal dari adanya ketimpangan. Akan tetapi tidak sedikit sastra Jawa yang muncul untuk memperkuat sistem pemerintahan yang berkuasa pada saat itu.

Baca lebih lanjut